Kekuatan Hukum Perjanjian Utang di Atas Materai
- account_circle admin
- calendar_month Sel, 2 Sep 2025
- visibility 221
- comment 0 komentar

Kekuatan Hukum Perjanjian Utang di Atas Materai
Kekuatan Hukum Perjanjian Utang di Atas Materai: Memahami Validitas dan Pembuktian
KlikBabel.com – Kekuatan Hukum Perjanjian Utang di Atas Materai. Dalam kehidupan sehari-hari, transaksi utang-piutang adalah hal yang lumrah, baik antarindividu maupun antara individu dengan lembaga. Seringkali, untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum, pihak-pihak yang terlibat akan membuat sebuah perjanjian utang tertulis dan membubuhinya dengan materai. Namun, seberapa kuatkah sebenarnya kekuatan hukum perjanjian utang yang dibubuhi materai ini? Apakah materai menjamin validitas atau justru hanya sebatas formalitas?
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang kekuatan hukum perjanjian utang di atas materai, membedah perbedaan antara syarat sahnya perjanjian dan fungsi materai sebagai alat bukti, serta memberikan panduan praktis untuk membuat perjanjian utang yang kokoh secara hukum.

Kekuatan Hukum Perjanjian Utang di Atas Materai
Pilar-Pilar Validitas Perjanjian Utang: Pasal 1320 KUHPerdata
Sebelum membahas peran materai, penting untuk memahami terlebih dahulu apa yang membuat sebuah perjanjian—termasuk perjanjian utang—dinyatakan sah dan mengikat secara hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1320, menetapkan empat syarat mutlak untuk sahnya suatu perjanjian:
- Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Diri: Ini berarti kedua belah pihak harus mencapai persetujuan atau konsensus tanpa adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Kehendak mereka harus sama dan bebas.
- Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan: Pihak-pihak yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap hukum, artinya sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan (misalnya, gila atau boros). Anak di bawah umur atau orang di bawah pengampuan tidak dapat secara sah membuat perjanjian tanpa diwakili oleh walinya.
- Suatu Hal Tertentu: Objek perjanjian harus jelas, spesifik, dan dapat ditentukan. Dalam konteks perjanjian utang, hal tertentu ini adalah jumlah uang yang dipinjamkan, cara pembayaran, dan jangka waktu pelunasan. Objek harus ada atau setidaknya dapat ditentukan di kemudian hari.
- Sebab yang Halal: Perjanjian tidak boleh didasarkan pada tujuan atau sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Misalnya, perjanjian utang untuk mendanai kegiatan ilegal adalah tidak sah.
Jika salah satu dari empat syarat di atas tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Syarat nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif, yang jika tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak). Sementara itu, syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat objektif, yang jika tidak terpenuhi, perjanjian menjadi batal demi hukum (dianggap tidak pernah ada sejak awal).
Penting untuk dicatat: Keberadaan materai TIDAK termasuk dalam empat syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata.
Peran Materai dalam Perjanjian Utang: Bukan Syarat Sah, Melainkan Alat Bukti
Ini adalah salah satu kesalahpahaman paling umum. Banyak orang berpikir bahwa materai adalah penentu sah atau tidaknya sebuah perjanjian. Padahal, fungsi materai jauh berbeda.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, bea materai adalah pajak atas dokumen yang digunakan sebagai alat bukti atau keterangan. Artinya, materai berfungsi sebagai pajak atas dokumen yang memberikan kekuatan pembuktian di pengadilan.
Berikut adalah poin-poin penting mengenai fungsi materai:
- Bukan Syarat Sahnya Perjanjian: Sebuah perjanjian utang, meskipun tidak dibubuhi materai, tetap sah dan mengikat selama memenuhi empat syarat Pasal 1320 KUHPerdata.
- Meningkatkan Kekuatan Pembuktian: Materai memberikan status hukum pada dokumen sebagai alat bukti di pengadilan. Jika terjadi sengketa dan perjanjian diajukan sebagai bukti, dokumen yang bermaterai memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Artinya, hakim akan cenderung menganggap isi dokumen tersebut benar adanya, kecuali ada bukti lain yang membantah.
- Pajak Dokumen: Pembubuhan materai adalah bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan atas dokumen-dokumen tertentu, termasuk perjanjian perdata yang nominal transaksinya memenuhi batas minimum yang ditentukan undang-undang (saat ini Rp5.000.000,00).
Akta di Bawah Tangan vs. Akta Otentik: Dimana Posisi Materai?
Perjanjian utang dapat dibuat dalam dua bentuk utama:
- Akta di Bawah Tangan: Dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat umum (seperti notaris atau PPAT). Contoh paling umum adalah surat perjanjian utang piutang yang dibuat sendiri. Materai sangat relevan untuk jenis akta ini guna meningkatkan kekuatan pembuktiannya di pengadilan.
- Akta Otentik: Dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum yang berwenang (misalnya, Akta Perjanjian Kredit di hadapan notaris). Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat secara hukum sejak awal, bahkan tanpa materai, karena dibuat oleh pejabat publik yang menjamin keaslian dan kebenaran isinya. Meskipun demikian, secara praktik, akta otentik pun seringkali tetap dibubuhi materai sebagai bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan.
Konsekuensi Jika Perjanjian Tidak Dibubuhi Materai
Jika sebuah perjanjian utang tidak dibubuhi materai, bukan berarti perjanjian tersebut batal atau tidak sah. Namun, ketika perjanjian tersebut akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, maka harus dilakukan pemeteraian kemudian (nazegelen).
Pemeteraian kemudian adalah proses pelunasan bea materai yang terutang pada dokumen yang belum dibubuhi materai atau kurang bea materai, yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Proses ini melibatkan pembayaran bea materai yang terutang, ditambah denda sesuai ketentuan yang berlaku. Tanpa pemeteraian kemudian, dokumen tersebut mungkin tidak dapat diterima atau memiliki kekuatan pembuktian yang lemah di pengadilan.
Membangun Perjanjian Utang yang Kuat: Poin-Poin Penting
Untuk memastikan perjanjian utang Anda memiliki kekuatan hukum yang maksimal, perhatikan hal-hal berikut:
- Identitas Para Pihak yang Jelas: Cantumkan nama lengkap, nomor KTP/identitas lain, alamat, dan pekerjaan dari pihak pemberi utang (kreditur) dan penerima utang (debitur).
- Jumlah Utang dan Mekanisme Pembayaran: Sebutkan nominal utang dengan jelas (angka dan huruf), mata uang, serta rincian pembayaran (cicilan, jatuh tempo, bunga jika ada).
- Jangka Waktu Pelunasan: Tetapkan tanggal jatuh tempo atau jadwal cicilan yang pasti.
- Bunga dan Denda (Jika Ada): Jika ada kesepakatan mengenai bunga atau denda keterlambatan pembayaran, pastikan diatur dengan jelas dan wajar.
- Jaminan (Jika Ada): Jika ada agunan atau jaminan (misalnya, sertifikat tanah, BPKB kendaraan), uraikan secara rinci dan lampirkan bukti kepemilikan.
- Klausul Wanprestasi: Jelaskan konsekuensi jika debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), termasuk hak-hak kreditur untuk melakukan penagihan atau upaya hukum.
- Pilihan Hukum dan Forum Penyelesaian Sengketa: Tentukan hukum mana yang berlaku (umumnya hukum Indonesia) dan forum penyelesaian sengketa (misalnya, musyawarah mufakat, mediasi, atau pengadilan negeri tertentu).
- Saksi-Saksi: Libatkan setidaknya dua orang saksi yang cakap hukum dan tidak memiliki konflik kepentingan, yang juga turut menandatangani perjanjian. Kehadiran saksi sangat memperkuat pembuktian akta di bawah tangan.
- Materai: Bubuhkan materai yang sesuai (saat ini Rp10.000) pada tempat yang benar (menyinggung tanda tangan kedua belah pihak) pada setiap salinan asli perjanjian.
Ketika Wanprestasi Terjadi: Langkah Hukum yang Bisa Diambil
Jika debitur tidak memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian (wanprestasi), kreditur dapat mengambil langkah-langkah hukum:
- Somasi (Teguran): Memberikan teguran tertulis kepada debitur untuk segera memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Somasi dapat dilakukan beberapa kali.
- Gugatan Perdata: Jika somasi tidak diindahkan, kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri. Dalam gugatan ini, perjanjian utang yang telah dibubuhi materai akan menjadi alat bukti utama.
- Eksekusi: Jika putusan pengadilan memenangkan kreditur, putusan tersebut dapat dieksekusi, termasuk melalui penyitaan aset debitur jika ada jaminan atau aset lain yang dapat disita.
Perjanjian utang yang dibuat dengan memenuhi syarat sah Pasal 1320 KUHPerdata dan dibubuhi materai akan sangat membantu kreditur dalam proses pembuktian di pengadilan, sehingga memperbesar peluang untuk memenangkan sengketa dan mendapatkan kembali haknya.
Kekuatan hukum perjanjian utang di atas materai terletak pada dua aspek krusial: validitas yang bersumber dari pemenuhan syarat Pasal 1320 KUHPerdata, dan kekuatan pembuktian yang diperkuat oleh materai sesuai Undang-Undang Bea Materai. Materai bukanlah penentu sah atau tidaknya sebuah perjanjian, melainkan instrumen penting yang memberikan bobot hukum pada dokumen saat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Memahami perbedaan ini adalah kunci untuk melindungi hak dan kewajiban Anda dalam setiap transaksi utang-piutang. Pastikan setiap perjanjian utang dibuat dengan cermat, memenuhi semua persyaratan hukum, dan dibubuhi materai yang berlaku untuk kepastian dan perlindungan hukum di masa depan. Jika ragu, selalu konsultasikan dengan ahli hukum.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apakah perjanjian utang tanpa materai masih sah dan mengikat?
Ya, perjanjian utang tanpa materai tetap sah dan mengikat selama memenuhi empat syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata (kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, sebab yang halal). Materai bukan syarat sah, melainkan syarat untuk kekuatan pembuktian di pengadilan.
2. Apa yang terjadi jika materai yang digunakan sudah tidak berlaku atau kadaluarsa?
Materai yang “tidak berlaku” biasanya mengacu pada nominal materai yang tidak sesuai dengan ketentuan terbaru (misalnya, masih menggunakan materai Rp3.000 atau Rp6.000 padahal seharusnya Rp10.000). Jika ini terjadi, dokumen tersebut dianggap kurang bea materai. Untuk dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dokumen tersebut harus menjalani proses pemeteraian kemudian (nazegelen) dengan membayar kekurangan bea materai dan denda yang berlaku.
3. Bagaimana jika perjanjian utang hanya dibuat secara lisan tanpa dokumen tertulis dan materai?
Perjanjian lisan secara hukum tetap sah dan mengikat jika memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, tantangan terbesarnya adalah pada aspek pembuktian. Akan sangat sulit bagi salah satu pihak untuk membuktikan adanya perjanjian, isi perjanjian, atau terjadinya wanprestasi di pengadilan tanpa adanya bukti tertulis. Oleh karena itu, perjanjian utang tertulis dengan materai sangat disarankan untuk menghindari sengketa di kemudian hari.
- Penulis: admin

Saat ini belum ada komentar